Activity

  • Fitri Andriyani posted an update 5 years, 6 months ago

    Konsep Filsafat didalam Filsafat Jawa

    Metafisika

    Ciptoprawiro (1986: 22-24) menjelaskan metafisika Jawa sebagai berikut:
    Ungkapan tentang ada (Ada semesta, Alam semesta) — Tuhan — Manusia—, dapat dianggap
    sebagai hasil pemikiran ataupun sebagai hasil pengalaman atau penghayatan manusia. Karena
    hasil ini dinyatakan berupa penuturan dengan kata (verbal) dan tersusun secara sistematis, maka
    dapat disebur filsafat dalam arti sempit. Ciri-ciri dasarnya adalah (1) Tuhan adalah ada semesta
    atau ada mutlak, (2) Alam semesta merupakan pangejawantahan Tuhan, dan (3) Alam semesta dan manusia merupakan suatu kesatuan, yang biasanya disebut kesatuan makrokosmos dan
    mikrokosmos.
    Pemikiran filsafat bertolak dari eksistensi manusia dan alam-dunia sebagai wujud nyata yang
    dapat ditangkap dengan panca indera. Bukan dasar awal yang dicari dan dipertanyakan seperti
    yang terjadi pada filsuf-filsuf Yunani, melainkan dari mana semua wujud ini atau dengan istilah
    sangkan paran, (1) sangkan paraning dumadi: awal —akhir alam semesta, (2) sangkan paraning
    manungsa: awal – akhir manusia, dan (3) dumadining manungsa: penciptaan manusia. Pencarian
    manusia akan berakhir dengan wikan, weruh atau mengerti sangkan paran. Fisafat Jawa
    sepanjang masa berkesimpulan bahwa Tuhan merupakan sangkan paraning dumadi dan
    manungsa, yang berarti (1) awal berarti berasal dari Tuhan dan (2) akhir berarti kembali kepada
    Tuhan. Usaha manusia untuk kembali pada asalnya atau Tuhan dilakukan baik dengan jalan
    jasmani maupun rohani, atau jalan lahir maupun jalan batin.
    Dalam filsafat Jawa selalu bermuara pada titik akhir, yaitu Tuhan. Pengakuan akan kemutlakan Tuhan yang sering disebut sangkan paraning dumadi. Demikian pula hubungan manusia dengan alam, manusia harus menunjukkan suatu
    citra harmonis, kesempurnaan manusia akan terwujud bilamana telah melepaskan diri dari keakuannya dengan tidak terbelenggu dengan dunia.

    Ontologi
    Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa ontologi merupakan bagian dari filsafat yang
    paling umum. Ontologi merupakan metafisika umum, yang mempersoalkan adanya segala
    sesuatu yang ada.
    Contoh pengetahuan tentang yang ada yang digunakan sebagai pedoman masyarakat
    pada masa itu adalah konsepsi pengetahuan memilih jodoh yang diuraikan Ki Ajar Sutikna
    kepada Cebolang, sebagaimana disebutkan pada pupuh 187, bait 30-32, kata Ki Ajar, ―Jika kamuakan memilih wanita yang baik, pantas dijadikan istri, silakan merenungkan makna kata-kata bobot, bebet, dan bibit. Kata bobot bermaksud hendaknya memilih wanita sejati, yang dilihat dari silsilah keturunan ayahnya, ada tujuh macam dan salah satu dapat menjadi syarat pilihan.

    Serat Centhini dilihat dari kuantitas kenyataan termasuk bagian dari monisme, yang
    menurut Bakker (1992:30), dalam pandangan filsafat Jawa, semua berada dalam kesatuan
    dengan Tuhan, entah itu tata alam, langit, atau Dewa. Kesatuan itu masih sementara di dunia,
    tetapi permanen di akhirat, jumbuhing atau pamoring kawula-Gusti adalah surga. Penjelasan
    tentang manusia dan Tuhan terdapat pada wejangan Seh Amongraga tentang zat, sifat, asma, dan
    af al, serta wujud, ilmu, nur, dan suhud. Zat itu satu tidak mungkin mendua. Sifat tentang
    keindahannya yang tidak mungkin dibandingkan. Asma ialah abadi, sedangkan af al itu pasti.
    Wujud adalah adanya kita ini dan adanya Tuhan. Ilmu ialah ilmu yang sesungguhnya tahu
    tentang sifat Tuhan. Nur adalah hidup kita karena asma Allah. Suhud adalah kenyataan kematian
    manusia karena af al Allah. Wujud manusia adalah zat Allah, ilmu manusia sifat Allah, nur
    manusia asma Allah, dan suhud manusia af al Allah (Marsono-VI, 2005: 116-118).

    Epistemologi dalam Filafat Jawa

    Dasar epistemologis Filsafat Jawa dapat dilihat dalam Serat Centhini yang isinya terdiri
    dari berbagai pengetahuan Jawa, sebagaimana diungkapkan dalam pendahuluan jilid-1 bahwa
    Serat Centhini merupakan baboning sanggyaning pangawikan Jawi (induk semua pengetahuan Jawa). Macam pengetahuan Jawa dalam Serat Centhini sebagaimana dinyatakan oleh
    Darusuprapto (1991:3) dalam saduran Serat Centhini jilid satu, antara lain mengenai hal ikwal
    yang bertalian dengan agama, mengenai beraneka ilmu: kebatinan, kekebalan, perkerisan, perumahan, dan pertanian; berbagai kesenian: kesusasteraan, karawitan, dan tari; bermacam
    primbon: perhitungan baik buruk hari atau waktu berjampi-jampi; berbagai jenis masakan
    makanan; adat istiadat dan cerita yang bertalian dengan peninggalan bangunan kuna setempat,
    dan sebagainya.

    Sumber pengetahuan Jawa yang terdapat dalam Serat Centhini berasal dari pengetahuan
    inderawi atau panca indera, pengetahuan otoritas, dan wahyu.

    Pengetahuan yang berasal dari
    pengalaman inderawi merupakan sumber pengetahuan yang berupa alat-alat untuk menangkap
    obyek dari luar diri manusia melalui kekuatan indra.

    Pengetahuan yang berasal dari otoritas adalah pengetahuan yang berasal dari kekuasaan
    yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya.

    Pengetahuan yang bersumber dari wahyu tercermin pada wejangan Seh Amongraga yang
    bersumber dari wahyu Illahi, yaitu kitab suci Alquran.

    Tatanan agama adalah syariat, tarekat sebagai wadah, hakikat dan makrifat.

    Ciptoprawiro (1986) menjelaskan metode untuk memperoleh pengetahuan dalam
    filsafat Jawa denan tahapan cipta – rasa – karsa, melalui tingkatan kesadaran, (1) kesadaran
    panca inderawi atau aku (ego consciousness), (2) kesadaran hening manunggal dalam cipta-rasakarsa,
    (3) kesadaran pribadi (ingsun, Sukma Sejati): manunggal aku-pribadi (self consciousness),
    dan (4) kesadaran Illahi: manungal aku—pribadi—Sukma Kawelas. Pada tingkat mutakhir
    terjadi manunggal subjek-objek, sehingga diperoleh pengetahuan mutlak atau kawicaksanan,
    kawruh sangkan paran dalam mencapai kesempurnaan. Ketiga kemampuan cipta-rasa-karsa ini
    dalam kehidupan sehari-hari diusahakan dapat bersatu untuk diwujudkan dalam kata dan karya,
    ucapan, dan perbuatan. Penggunaan yang dihayati lebih mendalam dari cipta, yaitu rasa dan rasa
    sejati, yang digambarkan sangat baik dalam budaya Jawa.

    Untuk dapat menguasai makna tujuan ilmu itu, seseorang harus mempunyai kepribadian yang
    kokoh, mandiri, sabar, dan tawakal. Di samping itu, ia harus juga mempunyai sikap kasih sayang
    terhadap sesama, bila memberikan pertolongan haruslah dilakukan secara tulus tanpa pamrih,
    kecuali dalam kebaikan itu sendiri. Hal tersebut mempunyai pribadi selalu ingat akan sangkan
    paraning dumadi (asal dan tujuan hidup manusia).
    Adapun rasa hidup itu karena bersatu dengan adanya ujud, yaitu pribadi. Segala macam ujud itu
    menandakan ada yang mewujudkan. Masalah itu seperti perbincangan antara mana yang disebut
    manisnya madu. Kesimpulannya tidak dapat disangkal lagi, bahwa seseorang itu merasa hidup
    karena ada yang memberi kehidupan. Dan yang memberi kehidupan itu tidak lain adalah Tuhah
    Yang Maha Esa.

    Penjelasan di depan disebutkan bahwa aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
    hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut kefilsafatan. Aksiologi dari kata Yunani axios
    yang berarti bernilai, berharga dan logos berarti kajian tentang. Analisis atas nilai-nilai untuk
    menentukan makna, ciri, asal mula, corak, ukuran, dan kedudukan epistemologinya.

    Ciptoprawiro (1986:25-26) menjelaskan aksiologi dalam filsafat Jawa dalam estetika dan
    etika. Dalaam estetika Jawa, dijelaskan (1) pada jaman Jawa-Hindu, keindahan selalu dianggap
    sebagai pangejawantahan dari yang Mutlak, maka semua keindahan adalah satu, dan (2) pada
    jaman Jawa-Islam, dalam kesusasteraan Suluk diperpadat duapuluh sifat dan sembilan puluh
    sembilan nama indah (asma‘ul husnah) Allah menjadi empat sifat, di mana keindahan
    dimasukkan Agung berarti Jalal, Elok berarti Jamal (Indah), Wisesa berarti Kahar (Kuasa), dan
    Sempurna berarti Kamal. Dalam etika Jawa dipermasalahkan adanya baik buruk yang
    mempengaruhi perilaku manusia dan yang berhubungan dengan Tuhan. Dalam filsafat Jawa,
    baik buruk dianggap tidak terlepas dari eksistensi manusia yang terjelma di dalam pelbagai
    keinginan dan dikaitkan dengan empat nafsu: mutmainah, amanah, lauwamah, dan supiah.
    Keinginan baik (mutmainah) akan selalu berhadapan dengan keinginan buruk (amarahlauwamah-supiah) untuk menjelmakan perilaku manusia. Dengan asumsi bahwa tujuan hidupmanusia adalah kesempurnaan, yang akan terjelma sifat Illahi dengan tercapainya manunggaling kawula-Gusti, maka pertentangan baik buruk akan diatasi dengan peningakatan kesadaran, yang juga disebut kadewasan jiwa (kedewasaan jiwa manusia). Kesusilaan tidak terlepas dari laku dalam perjalanan kesempurnaan. Tingkat kedewasaan manusia akan membentuk watak yang menentukan laku susilanya. Hal itu digambarkan dalam simbolik wayang dengan watak pendeta, pendhita ratu, satriya, diyu (yaksa), cendhala. Tingkat kedewasaan dan watak manusia tidak hanya dapat diperoleh dengan usaha sendiri sewaktu hidupnya, melainkan juga diperoleh sejaklahirnya.

    Seiring dengan Ciptoprawiro, Kusbandrijo (2007:35-37) juga menjelaskan bahwa dalam
    etika dipermasalahkan adanya baik buruk yang mempunyai perilaku manusia yang juga
    berhubungan dengan adanya Tuhan. Dalam filsafat Jawa baik buruk dianggap tidak terlepas dari eksistensi manusia yang terjelma di dalam perbagai keinginan dan dikaitkan dengan empat sifat
    nafsu, yaitu lauwamah, amarah, sufiah, dan mutmainah. Keinginan baik (mutmainah) akan
    selalu berhadapan dengan keinginan buruk (amarah-lauwamah-sufiah) untuk menjelmakan
    perilaku manusia. Tujuan hidup manusia untuk mencapai kesempurnaan yang akan menjelma
    sifat Illahi dengan tercapainya manunggaling kawula Gusti, maka pertentangan baik buruk akan
    diatasi dengan kesadaran yang disebut kadewasaan jiwa manusia atau manusia yang bijaksana.
    Kesusilaan tidak terlepas dari laku dalam perjalanan menuju kesempurnaan. Tingkat kedewasaan
    manusia akan membentuk watak yang akan menentukan laku manusia.