-
Fitri Andriyani posted an update 4 years, 11 months ago
Konsep Filsafat didalam Filsafat Jawa
Metafisika
Ciptoprawiro (1986: 22-24) menjelaskan metafisika Jawa sebagai berikut:
Ungkapan tentang ada (Ada semesta, Alam semesta) — Tuhan — Manusia—, dapat dianggap
sebagai hasil pemikiran ataupun sebagai hasil pengalaman atau penghayatan manusia. Karena
hasil ini dinyatakan berupa penuturan dengan kata (verbal) dan tersusun secara sistematis, maka
dapat disebur filsafat dalam arti sempit. Ciri-ciri dasarnya adalah (1) Tuhan adalah ada semesta
atau ada mutlak, (2) Alam semesta merupakan pangejawantahan Tuhan, dan (3) Alam semesta dan manusia merupakan suatu kesatuan, yang biasanya disebut kesatuan makrokosmos dan
mikrokosmos.
Pemikiran filsafat bertolak dari eksistensi manusia dan alam-dunia sebagai wujud nyata yang
dapat ditangkap dengan panca indera. Bukan dasar awal yang dicari dan dipertanyakan seperti
yang terjadi pada filsuf-filsuf Yunani, melainkan dari mana semua wujud ini atau dengan istilah
sangkan paran, (1) sangkan paraning dumadi: awal —akhir alam semesta, (2) sangkan paraning
manungsa: awal – akhir manusia, dan (3) dumadining manungsa: penciptaan manusia. Pencarian
manusia akan berakhir dengan wikan, weruh atau mengerti sangkan paran. Fisafat Jawa
sepanjang masa berkesimpulan bahwa Tuhan merupakan sangkan paraning dumadi dan
manungsa, yang berarti (1) awal berarti berasal dari Tuhan dan (2) akhir berarti kembali kepada
Tuhan. Usaha manusia untuk kembali pada asalnya atau Tuhan dilakukan baik dengan jalan
jasmani maupun rohani, atau jalan lahir maupun jalan batin.
Dalam filsafat Jawa selalu bermuara pada titik akhir, yaitu Tuhan. Pengakuan akan kemutlakan Tuhan yang sering disebut sangkan paraning dumadi. Demikian pula hubungan manusia dengan alam, manusia harus menunjukkan suatu
citra harmonis, kesempurnaan manusia akan terwujud bilamana telah melepaskan diri dari keakuannya dengan tidak terbelenggu dengan dunia.Ontologi
Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa ontologi merupakan bagian dari filsafat yang
paling umum. Ontologi merupakan metafisika umum, yang mempersoalkan adanya segala
sesuatu yang ada.
Contoh pengetahuan tentang yang ada yang digunakan sebagai pedoman masyarakat
pada masa itu adalah konsepsi pengetahuan memilih jodoh yang diuraikan Ki Ajar Sutikna
kepada Cebolang, sebagaimana disebutkan pada pupuh 187, bait 30-32, kata Ki Ajar, ―Jika kamuakan memilih wanita yang baik, pantas dijadikan istri, silakan merenungkan makna kata-kata bobot, bebet, dan bibit. Kata bobot bermaksud hendaknya memilih wanita sejati, yang dilihat dari silsilah keturunan ayahnya, ada tujuh macam dan salah satu dapat menjadi syarat pilihan.Serat Centhini dilihat dari kuantitas kenyataan termasuk bagian dari monisme, yang
menurut Bakker (1992:30), dalam pandangan filsafat Jawa, semua berada dalam kesatuan
dengan Tuhan, entah itu tata alam, langit, atau Dewa. Kesatuan itu masih sementara di dunia,
tetapi permanen di akhirat, jumbuhing atau pamoring kawula-Gusti adalah surga. Penjelasan
tentang manusia dan Tuhan terdapat pada wejangan Seh Amongraga tentang zat, sifat, asma, dan
af al, serta wujud, ilmu, nur, dan suhud. Zat itu satu tidak mungkin mendua. Sifat tentang
keindahannya yang tidak mungkin dibandingkan. Asma ialah abadi, sedangkan af al itu pasti.
Wujud adalah adanya kita ini dan adanya Tuhan. Ilmu ialah ilmu yang sesungguhnya tahu
tentang sifat Tuhan. Nur adalah hidup kita karena asma Allah. Suhud adalah kenyataan kematian
manusia karena af al Allah. Wujud manusia adalah zat Allah, ilmu manusia sifat Allah, nur
manusia asma Allah, dan suhud manusia af al Allah (Marsono-VI, 2005: 116-118).Epistemologi dalam Filafat Jawa
Dasar epistemologis Filsafat Jawa dapat dilihat dalam Serat Centhini yang isinya terdiri
dari berbagai pengetahuan Jawa, sebagaimana diungkapkan dalam pendahuluan jilid-1 bahwa
Serat Centhini merupakan baboning sanggyaning pangawikan Jawi (induk semua pengetahuan Jawa). Macam pengetahuan Jawa dalam Serat Centhini sebagaimana dinyatakan oleh
Darusuprapto (1991:3) dalam saduran Serat Centhini jilid satu, antara lain mengenai hal ikwal
yang bertalian dengan agama, mengenai beraneka ilmu: kebatinan, kekebalan, perkerisan, perumahan, dan pertanian; berbagai kesenian: kesusasteraan, karawitan, dan tari; bermacam
primbon: perhitungan baik buruk hari atau waktu berjampi-jampi; berbagai jenis masakan
makanan; adat istiadat dan cerita yang bertalian dengan peninggalan bangunan kuna setempat,
dan sebagainya.Sumber pengetahuan Jawa yang terdapat dalam Serat Centhini berasal dari pengetahuan
inderawi atau panca indera, pengetahuan otoritas, dan wahyu.Pengetahuan yang berasal dari
pengalaman inderawi merupakan sumber pengetahuan yang berupa alat-alat untuk menangkap
obyek dari luar diri manusia melalui kekuatan indra.Pengetahuan yang berasal dari otoritas adalah pengetahuan yang berasal dari kekuasaan
yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya.Pengetahuan yang bersumber dari wahyu tercermin pada wejangan Seh Amongraga yang
bersumber dari wahyu Illahi, yaitu kitab suci Alquran.Tatanan agama adalah syariat, tarekat sebagai wadah, hakikat dan makrifat.
Ciptoprawiro (1986) menjelaskan metode untuk memperoleh pengetahuan dalam
filsafat Jawa denan tahapan cipta – rasa – karsa, melalui tingkatan kesadaran, (1) kesadaran
panca inderawi atau aku (ego consciousness), (2) kesadaran hening manunggal dalam cipta-rasakarsa,
(3) kesadaran pribadi (ingsun, Sukma Sejati): manunggal aku-pribadi (self consciousness),
dan (4) kesadaran Illahi: manungal aku—pribadi—Sukma Kawelas. Pada tingkat mutakhir
terjadi manunggal subjek-objek, sehingga diperoleh pengetahuan mutlak atau kawicaksanan,
kawruh sangkan paran dalam mencapai kesempurnaan. Ketiga kemampuan cipta-rasa-karsa ini
dalam kehidupan sehari-hari diusahakan dapat bersatu untuk diwujudkan dalam kata dan karya,
ucapan, dan perbuatan. Penggunaan yang dihayati lebih mendalam dari cipta, yaitu rasa dan rasa
sejati, yang digambarkan sangat baik dalam budaya Jawa.Untuk dapat menguasai makna tujuan ilmu itu, seseorang harus mempunyai kepribadian yang
kokoh, mandiri, sabar, dan tawakal. Di samping itu, ia harus juga mempunyai sikap kasih sayang
terhadap sesama, bila memberikan pertolongan haruslah dilakukan secara tulus tanpa pamrih,
kecuali dalam kebaikan itu sendiri. Hal tersebut mempunyai pribadi selalu ingat akan sangkan
paraning dumadi (asal dan tujuan hidup manusia).
Adapun rasa hidup itu karena bersatu dengan adanya ujud, yaitu pribadi. Segala macam ujud itu
menandakan ada yang mewujudkan. Masalah itu seperti perbincangan antara mana yang disebut
manisnya madu. Kesimpulannya tidak dapat disangkal lagi, bahwa seseorang itu merasa hidup
karena ada yang memberi kehidupan. Dan yang memberi kehidupan itu tidak lain adalah Tuhah
Yang Maha Esa.Penjelasan di depan disebutkan bahwa aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut kefilsafatan. Aksiologi dari kata Yunani axios
yang berarti bernilai, berharga dan logos berarti kajian tentang. Analisis atas nilai-nilai untuk
menentukan makna, ciri, asal mula, corak, ukuran, dan kedudukan epistemologinya.Ciptoprawiro (1986:25-26) menjelaskan aksiologi dalam filsafat Jawa dalam estetika dan
etika. Dalaam estetika Jawa, dijelaskan (1) pada jaman Jawa-Hindu, keindahan selalu dianggap
sebagai pangejawantahan dari yang Mutlak, maka semua keindahan adalah satu, dan (2) pada
jaman Jawa-Islam, dalam kesusasteraan Suluk diperpadat duapuluh sifat dan sembilan puluh
sembilan nama indah (asma‘ul husnah) Allah menjadi empat sifat, di mana keindahan
dimasukkan Agung berarti Jalal, Elok berarti Jamal (Indah), Wisesa berarti Kahar (Kuasa), dan
Sempurna berarti Kamal. Dalam etika Jawa dipermasalahkan adanya baik buruk yang
mempengaruhi perilaku manusia dan yang berhubungan dengan Tuhan. Dalam filsafat Jawa,
baik buruk dianggap tidak terlepas dari eksistensi manusia yang terjelma di dalam pelbagai
keinginan dan dikaitkan dengan empat nafsu: mutmainah, amanah, lauwamah, dan supiah.
Keinginan baik (mutmainah) akan selalu berhadapan dengan keinginan buruk (amarahlauwamah-supiah) untuk menjelmakan perilaku manusia. Dengan asumsi bahwa tujuan hidupmanusia adalah kesempurnaan, yang akan terjelma sifat Illahi dengan tercapainya manunggaling kawula-Gusti, maka pertentangan baik buruk akan diatasi dengan peningakatan kesadaran, yang juga disebut kadewasan jiwa (kedewasaan jiwa manusia). Kesusilaan tidak terlepas dari laku dalam perjalanan kesempurnaan. Tingkat kedewasaan manusia akan membentuk watak yang menentukan laku susilanya. Hal itu digambarkan dalam simbolik wayang dengan watak pendeta, pendhita ratu, satriya, diyu (yaksa), cendhala. Tingkat kedewasaan dan watak manusia tidak hanya dapat diperoleh dengan usaha sendiri sewaktu hidupnya, melainkan juga diperoleh sejaklahirnya.Seiring dengan Ciptoprawiro, Kusbandrijo (2007:35-37) juga menjelaskan bahwa dalam
etika dipermasalahkan adanya baik buruk yang mempunyai perilaku manusia yang juga
berhubungan dengan adanya Tuhan. Dalam filsafat Jawa baik buruk dianggap tidak terlepas dari eksistensi manusia yang terjelma di dalam perbagai keinginan dan dikaitkan dengan empat sifat
nafsu, yaitu lauwamah, amarah, sufiah, dan mutmainah. Keinginan baik (mutmainah) akan
selalu berhadapan dengan keinginan buruk (amarah-lauwamah-sufiah) untuk menjelmakan
perilaku manusia. Tujuan hidup manusia untuk mencapai kesempurnaan yang akan menjelma
sifat Illahi dengan tercapainya manunggaling kawula Gusti, maka pertentangan baik buruk akan
diatasi dengan kesadaran yang disebut kadewasaan jiwa manusia atau manusia yang bijaksana.
Kesusilaan tidak terlepas dari laku dalam perjalanan menuju kesempurnaan. Tingkat kedewasaan
manusia akan membentuk watak yang akan menentukan laku manusia.