Activity

  • Hikmah Saptaola Srikandi posted an update 8 years, 1 month ago

    Model-model Evaluasi Kurikulum
    Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Evaluasi Kurikulum
    Dosen Pengampu Prof. Dr. Anik Ghufron, M.Pd.

    Oleh:
    Anggi Putri Utami (14105241001)
    Hikmah Saptaola S (14105244017)
    Diah Ismiati (14105241013)
    Haidar Nibras A (14105244018)
    Suryo Tri S (14105241007)

    KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
    FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
    UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
    2016

    PENGANTAR

    Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Mata Kuliah Evaluasi Kurikulum berupa makalah Model-model Evaluasi Kurikulum.
    Tugas ini untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Evaluasi Kurikulum serta untuk mengetahui model-model evaluasi beserta langkah-langkah yang harus dilaksanakan. Kami sadar bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna sehingga dalam penyusunan makalah ini pun masih banyak kekurangan-kekurangan yang mungkin masih belum dapat kami perbaiki.
    Kepada Bapak Prof. Dr. Anik Ghufron, M.Pd. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Evaluasi Kurikulum dan pihak-pihak yang telah membantu, kami ucapkan terima kasih atas kerjasamanya.

    Penyusun

    BAB I
    Pendahuluan
    A. Latar Belakang
    Kurikulum ibarat jantung dalam pendidikan. Tanpa kurikulum maka pendidikan akan mancet dan tidak ada aktivitas belajar mengajar. Karena di dalam kurikulum berkaitan dengan penentuan arah, isi dan proses pendidikan, yang pada akhirnya menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan. Kurikulum juga menyangkut rencana dan pelaksanaan pendidikan dalam lingkup kelas, sekolah, daerah, wilayah maupun nasional. Demikianlah urgensi dari kurikulum.
    Kurikulum merupakan hasil pemikiran manusia. Maka sudah sewajarnya bila dalam pelaksanaanya belum tentu membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Untuk itulah evaluasi akan kurikulum itu menjadi penting dan harus dilakukan. Selain bertujuan memperbaiki kekurangannya, evaluasi ini kedepannya diharapkan mampu membawa kea rah pengembangan kurikulum yang lebih baik lagi.
    Namun demikian, evaluasi kurikulum bukanlah suatu kegiatan yang mudah. Seorang evaluator hendaknya memiliki pemahaman akan teori-teori kurikulum dan metode atau model-model evaluasi kurikulum. Apalagi kurikulum satuan pendidikan, yang pelaksanaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi masing-masing sekolah. Tentunya hal ini membutuhkan ketelitian dan penguasaan model evaluasi kurikulum yang matang dari evaluator. Dan atas dasar pertimbangan-pertimbangan inilah maka penting kiranya untuk dibahas model-model evaluasi kurikulum yang berkembang saat ini.
    B. Rumusan Masalah
    • Apa yang dimaksud model kuantitatif ?
    • Apa yang dimaksud model ekonomi mikro ?
    C. Tujuan
    • Mengetahui tentang model kuantitatif
    • Mengetahui tentang model ekonomi mikro

    BAB II
    Pembahasan
    A. Model kuantitatif
    Ciri yang menonjol dari evaluasi kuantitatif adalah penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme. Paradigma positivisme menjadi tradisi keilmuan dalam evaluasi terutama melalui tradisi psikometrik. Tradisi psikometrik menekankan penggunaan prosedur dan alat evaluasi berdasarkan prosedur yang dikenal dalam pengukuran dan metode positivistik. Model-model evaluasi kuantitatif yang ada menekankan peran penting metodologi kuantitatif dan penggunaan tes. Ciri berikutnya dari model-model kuantitatif adalah tidak digunakannya pendekatan proses dalam mengembangkan kriteria evaluasi. Berikutnya model-model kuantitatif ini sama-sama memiliki fokus evaluasi, yaitu pada dimensi kurikulum sebagai hasil belajar.
    1. Model Black Box Tyler
    Model Tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama resmi yang diberikan oleh pengembangnya. Tyler menuangkan karyanya ini dalam sebuah buku kecil tentang kurikulum. Berkat buku inilah kemudian nama dia menjadi terkenal dan dia disegani. Model evaluasi Tyler di bangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang ditujukan kepada tingkah laku peserta didik dan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peseta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum tersebut. Berdasar pada dua prinsip ini maka Tyler ingin mengatakan bahwa evaluasi kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan dimensi hasil belajar. Evaluasi terhadap kurikulum sebagai kegiatan tidak dimasukkan dalam ruang lingkup evaluasi kurikulum oleh Tyler.
    Dengan dasar evaluasi yang kedua, Tyler menghendaki evaluator dapat menentukan perubahan tingkah laku yang terjadi sebagai hasil belajar yang diperoleh dari kurikulum. Kenyataan seperti itu menurut Tyler tidak mungkin dapat ditetapkan apabila evaluator hanya melihat tingkah laku peserta didik setelah mengikuti kurikulum. Ketika menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi harus pula dipertimbangkan tingkah laku yang bagaimana yang dianggap merupakan pernyataan bahwa tujuan tersebut telah tercapai. Evaluator dituntut untuk mengembangkan kisi-kisi tujuan yang akan dievaluasi dalam tabel dua dimensi: tingkah laku dan materi.
    Tujuan dirumuskan dalam bentuk behavioral objectives. Taksonomi Bloom dapat mengarahkan perencanaan hasil belajar yang terstruktur. Seringkali, evaluator harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan dengan para pengembang kurikulum mengenai tujuan yang akan dievaluasi dan tingkat pencapaiannya. Evaluasi yang menggunakan model ini memerlukan informasi perubahan tingkah laku pada sebelum dan sesudah belajar yang diistilahkan sebagai pre-test dan post-test. Instrumen yang digunakan pada tes awal dan akhir haruslah sama, memiliki validitas dan reliabilitas konten yang tinggi.
    Jika model ini digunakan dengan desain eksperimen maka bagian proses mungkin saja terjadi sesuai dengan apa yang diharapkan kurikulum. Tetapi ketika model ini digunakan dengan desain penelitian deskriptif dan proses yang terjadi tidak dievaluasi maka ada kekhawatiran bahwa sesungguhnya apa yang terjadi pada diri peserta didik dalam proses belajar tidak seperti yang dirancang oleh kurikulum. Oleh karena itu, model ini disebut sebagai kotak hhitam yang menyimpan segala teka-teki.
    Adapun prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler adalah sebagai berikut.
    a) Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi. Tujuan kurikulum yang dimaksud disini adalah model tujuan behavioral. Dan model ini di Indonesia sudah dikembangkan sejak kurikulum 1975.
    b) Menentukan situasi di mana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan. Dari langkah ini diharapkan evaluator memberikan perhatian dengan saksama agar proses pembelajaran yang terjadi mengungkapkan hasil belajar yang dirancang kurikulum.
    c) Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk megukur tingkah laku peserta didik. Alat evaluasi ini dapat berbentuk tes, observasi, kuisioner, panduan wawancara, dan sebagainya. Adapun instrument evaluasi ini harus teruji validitas dan reliabilitasnya. Validitas isi yang tinggi memberikan jaminan bahwa hasil belajar yang diukur adalah hasil dari proses belajar mengenai materi yang telah dipelajari peserta didik. Reliabilitas yang tinggi memberikan jaminan bahwa instrumen secara konsisten akan memberikan hasil yang sama walaupun dilakukan di sekolah yang berbeda dalam waktu yang berbeda. Hasil yang sama dalam konteks ini adalah sama untuk mereka yang berkemampuan sama. Setelah itu, evaluator melakukan kajian mengenai alat evaluasi yang tersedia.
    Persoalan pengembangan tujuan kurikulum/program yang dipersyaratkan oleh behaviorial objectives seperti yang dikemukakan Tyler sudah umum dilakukan di Indonesia. Model ini diperkenalkan di Indonesia dalam Kurikulum 1975. Kurikulum ini mewajibkan guru mengembangkan satuan pelajaran dengan menggunakan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Gagasan Tyler mengilhami Bloom untuk mengembangkan ide tersebut menjadi taksonomi tujuan pendidikan yang kemudian diterapkan di Indonesia melalui Tujuan Instruksional Khusus (TIK). TIK merupakan salah satu komponen dalam model PPSI. Dewasa ini, model PPSI tidak digunakan lagi tetapi tujuan yang terukur dan teramati masih dianjurkan.
    Langkah kedua tampak sederhana, tetapi tetap menentukan keberhasilan evaluasi Tyler. Jika situasi yang ditetapkan tidak tepat, tingkah laku peserta didik yang diharapkan tidak akan terungkapkan dengan baik. Artinya, proses pembelajaran yang terjadi tidak mengungkapkan hasil belajar yang dirancang kurikulum. Dengan kata lain, tujuan kurikulum tidak terevaluasi sebagaimana seharusnya.
    Alat evaluasi dapat berbentuk tes dan non tes. Ketika evaluator menentukan situasi di mana peserta didik diharapkan dapat mengemukakan hasil belajar dengan baik, evaluator harus memiliki pengetahuan tentang karakteristik alat tersebut, kekuatan dan kelemahan yang ada dihubungkan dengan tujuan yang akan diukur.
    Kelebihan dari model Tyler ini adalah kesederhanaanya. Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum, yaitu dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak menjadi fokus evaluasi. Kelemahan dari model Tyler adalah tidak sejalan dengan pendidikan karena fokus pada hasil belajar dan mengabaikan dimensi proses. Padahal hasil belajar adalah produk dari proses belajar. Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen penting dari kurikulum. Kelemahan lain adalah banyak studi yang mengkaji tentang implementasi kurikulum yang seringkali tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh kurikulum sebagai rencana.

    2. Model Teoritik Taylor dan Maguire
    Model Taylor ini lebih mendasarkan dirinya pada pertimbangan teoritik suatu model evaluasi kurikulum. Hal ini tidak berarti bahwa pertimbangan praktis tidak diberikan dalam menerapkan beberapa langkah model tersebut.Dengan pertimbangan teoritik, Taylor dan Maguire mencoba menerapkan apa yang seharusnya secara teoritik terjadi dalam suatu proses pelaksanaan evaluasi kurikulum. Misalnya, model ini memperlihatkan variabel dan langkah yang ada dalam proses pengembangan kurikulum sebagai variabel dan langkah yang juga harus ada dalam evaluasi.
    Dalam literatur yang mereka pergunakan tidak tercantum dalam tulisan Tyler mengenai evaluasi, tetapi kajian terhadap model ini memperlihatkan adanya pengaruh Tyler. Unsur-unsur seperti sumber sosial tujuan, tujuan yang dikembangkan berdasarkan pendekatan behavioral, pengembangan strategi, dan semangat psikometrik merupakan pengaruh Tyler. Dalam melaksanakan evaluasi kurikulum sesuai model teoritik Taylor dan Maguire meliputi dua hal, yaitu:
    a) Mengumpulkan data objektif yang dihasilkan dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode, konten, hasil belajar langsung maupun hasil belajar dalam jangka panjang. Dikatakan data objektif karena mereka berasal dari luar pertimbangan evaluator.
    b) Pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual terutama mengenai kualitas tujuan, masukan dan hasil belajar.
    Adapun cara kerja model evaluasi Taylor dan Maquaire ini adalah sebagai berikut.
    a) Dimulai dari adanya tekanan/keinginan masyarakat terhadap pendidikan. Tekanan dan tuntutan masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan. Kemudian, tujuan dari masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan yang ingin dicapai kurikulum. Misalnya, masyarakat menuntut adanya peningkatan mutu pendidikan. Tuntutan ini diungkapkan dalam rumusan seperti: peserta didik harus dibekali dengan keterampilan untuk menghadapi perubahan-perubahan dalam masyarakat; peserta didik harus memiliki kemampuan untuk menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri; dan sebagainya. Adapun dalam pengembangan KTSP maka tekanan dari masyarakat ini dikembangkan pada tingkat Nasional dalam bentuk Standar Isi dan Standar Kompetensi Kelulusan. Dari dua standar ini maka satuan pendidikan mengembangkan visi dan tujuan yang hendak dicapai satuan pendidikan. Kemudian, tujuan satuan pendidikan tersebut menjadi tujuan kurikulum dan tujuan mata pelajaran. Tugas ini pertama-tama menjadi tanggung jawab para pengembang kurikulum di tingkat satuan pendidikan.
    b) Evaluator mencari data mengenai keserasian antara tujuan umum dengan tujuan behavioral. Maka tugas evaluator disini mencari relevansi antara tujuan satuan pendidikan, kurikulum dan mata pelajaran yang berbeda dalam tingkat-tingkat abstraksinya. Dalam tahap ini evaluator harus menentukan apakah pengembagan tujuan behavioral tersebut membawa gains atau losses dibandingkan dengan tujuan umum ditahap pertama.
    c) Penafsiran tujuan kurikulum. Pada tahap ini tugas evaluator adalah memberikan pertimbangan mengenai nilai tujuan umum pada tahap pertama. Adapun dua kriteria yang dikemukan oleh Taylor dan Maguaire dalam memberi pertimbangan adalah pertama, kesesuaian dengan tugas utama sekolah. Kedua, tingkat pentingnya tujuan kurikulum untuk dijadikan program sekolah. Adapun hasil dari kegiatan ini adalah sejumlah tujuan behavioral yang sudah tersaring dan akan dijadikan tujuan yang akan dicapai oleh mata pelajaran yang bersangkutan.
    d) Mengevaluasi pengembangan tujuan menjadi pengalaman belajar. Tugas evaluator di sini adalah menentukan hasil dari suatu kegiatan belajar. Menelaah apakah hasil belajar yang telah diperoleh dapat digunakan dalam kehidupan di masyarakat. Karena kurikulum yang baik adalah kurikulum yang menjadikan hasil belajar yang diperoleh peserta didik dapat digunakan dalam kehidupannya di masyarakat.
    Kelebihan dari model ini adalah memberikan kesempatan pada evaluator untuk menerapkan kajian secara komprehensif, baik nilai maupun arti kurikulum dapat dikaji dengan menggunakan model ini. Adapun masalahnya bila diterapkan di Indonesia bahwa model ini hanya diterapkan di tingkat satuan pendidikan sehingga keseluruhan proses pengembangan kurikulum tingkat nasional tidak dapat dievaluasi dengan model ini.

    B. Model Ekonomi Mikro
    Model ekonomi mikro adalah model yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebagaimana model kuantitatif lainnya, maka model ekonomi mikro ini fokus pada hasil (hasil dari pekerjaan, hasil belajar dan hasil yang diperkirakan). Pertanyaan besar dari model ekonomi mikro adalah apakah hasil belajar yang diperoleh peserta didik sesuai dengan dana yang telah dikeluarkan.
    Menurut Levin (1983:17) ada empat model di lingkungan ekonomi mikro, yaitu cost-effectiveness, cost benefit, cost-utility, dan cost feasibility. Dari keempat model ini maka model cost-effectiveness yang paling sesuai untuk evaluasi kurikulum. Dalam model cost effectiveness, seseorang evaluator harus dapat membandingkan dua program atau lebih, baik dalam pengertian dana yang digunakan untuk setiap program maupun hasil yang diakibatkan oleh setiap program. Perbandingan hasil ini akan memberikan masukan bagi pembuat keputusan mengenai program mana yang lebih menguntungkan dilihat dari hubungan antara dana dan hasil. Dalam mengukur hasil, digunakan instrumen yang sudah distandarisasi. Penggunaan instrumen standar penting karena dengan demikian perbandingan antara biaya dan hasil dapat dilakukan secara berimbang.
    Disini terlihat bahwa penerapan model cost-evectiveness menggunakan pendekatan pengembangan kriteria pre-ordinate. Dengan menggunakan kriteria pre-ordinate, karakteristik masing-masing kurikulum yang dibandingkan tidak diperhitungkan. Oleh karena itu, Levin (1983:18) mengatakan bahwa model cost-effectiveness hendaknya diterapkan untuk membandingkan dua kurikulum atau program yang mempunyai tujuan identik atau serupa. Apabila tidak, validasi perbandingan akan menimbulkan persoalan.
    Tes standar manapun yang digunakan tentu akan memberikan perlakuan yang tidak adil terhadap salah satu kurikulum. Dengan perkataan lain, hasil yang diperoleh dari tes standar tidak akan mencerminkan kekuatan yang sesungguhnya pada diri anak didik. Artinya, walaupun tes standar tersebut memiliki validitas isi dan reabilitas tinggi, tapi data yang dihasilkannya justru menimbulkan persoalan validasi data yang sukar untuk dipertanggungjawabkan. Misalnya, ada dua kurikulum yang mempunyai tujuan berbeda yang digunakan di dua satuan pendidikan yang sejenis. Satu kurikulum berusaha mengembangkan keterampilan peserta didik dalam mencari, mengolah, dan menggunakan informasi. Di dalam inovasi kurikulum tersebut, banyaknya pengetahuan yang dimiliki tamatannya bukan menjadi tujuan utama. Dalam ide kurikulum disebutkan bahwa kemampuan mencari, mengolah, dan memanfaatkan informasi dalam kehidupan sehari-hari jauh lebih penting karena akan mendukung kemampuan untuk belajar sepanjang hayat. Dengan kemampuan tersebut, peserta didik akan memiliki kemungkinan akan mendapatkan pengetahuan yang lebih berguna dan lebih banyak. Kurikulum lain yang dikembangkan oleh satuan pendidikan lain mungkin didasarkan atas ide yang berbeda. Dalam pandangan teoritik kurikulum satuan pendidikan tersebut dinyatakan bahwa seseorang yang telah menyelesaikan studinya harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat hidup produktif di masyarakat. Lulusan itu harus segera menggunakan pengetahuannya di masyarakat dan bukan harus belajar dulu setelah ada di masyarakat. Pandangan teoritik yang menjadi ide kurikulum satuan pendidikan tersebut berbeda dengan pandangan teoritik satuan pendidikan yang disebutkan di awal.
    Persoalan mengenai kesamaan tujuan kurikulum yang akan dibandingkan tidak akan dialami oleh evaluator yang akan menerapkan model cost-benefit dalam kajiannya. Berbeda dengan cost-effectiveness yang menggunakan angka (score) sebagai unit pengukuran hasil belajar, cost-benefit menggunakan unit uang dalam mengukur hasil.berapa uang yang diterima setelah seseorang bekerja untuk jangka waktu tertentu sebagai akibat dari pendidikan yang dialaminya (biasanya diukur sampai yang bersangkutan melanjutkan studi dijenjang yang lebih tinggi atau sampai atau sampai yang bersangkutan pensiun) (Catteral, 1984:19).
    Model ketiga dalam kelompok ekonomi mikro evaluasi kurikulum adalah cost-utility. Pengertian utility menurut Levin (1983:26) bukanlah hasil belajar. Evaluator dapat menggunakan data kuantitatif dan data kulitatif. Dengan peluang tersebut, evaluator tidak dibatasi ruang geraknya atas satu jenis data saja. Perkiraan-perkiraan dari para pakar mengenai kegunaan dan nilai dari satu atau lebih program dapat digunakan. Levin (1983:27) menganjurkan agar digunakannya skala kegunaan (utility scale). Skala ini dapat bergerak dari 0 – 10 tapi dapat pula bergerak dari 1 – 4, atau skala lainnya. Pokok utama yang digunakan ialah bahwa setiap orang yang jadi responden memberikan pendapat mereka berdasarkan pendapat yang sama.
    Hal penting lainnya ialah bahwa skala penilaian tersebut diukur pada tingkat pengukuran interval dan bukan ordinal. Dengan demikian, setiap orang yang menempatkan kegunaan atau nilai suatu program menyadari bahwa jarak antara satu titik dengan titik lainnya diasumsikan sama. Pengukuran pada tingkat interval memberikan kemungkinan kepada evaluator untuk menggunakan berbagai statistik dibandingkan pengukuran pada tingkat ordinal. Levin (1983:28) menggunakan istilah “cardinal” untuk skala yang dianjurkan.
    Model terakhir dari kelompok mikro ekonomi ialah yang dinamakan model cost-feasibility. Berbeda dengan model terdahulu, model cost-feasibility tidak berusaha mencari hubungan antara biaya dengan hasil tertentu.sesuai dengan namanya, model cost-feasibility didesain untuk menjawab pertanyaan evaluasi apakah biaya yang diperlukan memang tersedia. Artinya, setelah ide suatu kurikulum dirumuskan, perhitungan biaya untuk pelaksanaan kurikulum harus dilakukan. Apabila angka sudah diperoleh pertanyaannya ialah apakah biaya yang diperlukan tersedia atau mungkin diadakan. Apabila lembaga atau departemen yang bersangkutan memiliki biaya untuk tahap awal pelaksaan kurikulum, pertanyaan berikutnya ialah bagaimana dengan pengadaan biaya di masa mendatang. Perhitungan biaya di masa depan perlu diperhitungkan agar kurikulum yang dikembangkan tersebut mendapat jaminan dalam implementasinya. Jika ketiga atau salah satu dari ketiga keadaan terakhir yang terjadi, kontinuitas implementasi kurikulum tidak terjamin, terjadi pemborosan dalam pengembangan kurikulum, dan kurikulum tidak akan menghasilkan apa yang dikemukakan dalam ide kurikulum.

    Bab III
    Penutup
    Kesimpulan
    Evaluasi kurikulum merupakan suatu tema yang luas, meliputi banyak kegiatan, meliputi sejumlah prosedur, bahkan dapat merupakan suatu lapangan studi yang berdiri sendiri.
    Model kuantitatif adalah model yang bercirikan penggunaan pendekatan kuantitatif dalam evaluasi.
    Model ekonomi mikro adalah model yang menggunakan pendekatan kuantitatif.

    Daftar Pustaka
    Hamid Hasan. 2009. Evaluasi Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.