Activity

  • rahma hayati nurbuat posted an update 5 years, 11 months ago

    REFLEKSI BUDAYA (Ketoprak “Rembulan Kekalang” dan Wayang Kulit)

    Nama : Rahma Hayati Nurbuat
    NIM : 15301244007
    Kelas : Pendidkan Matematika I 2015

    Berikut merupakan refleksi budaya mengenai kesenian ketoprak dan wayang kulit:
    Dimulai dari sejarah dan dinamika ketoprak terlebih dahulu. Problem yang dihadapi ketoprak adalah dampak dari perubahan social dan modernisasi budaya masyarakat agraris. Banyak persoalan dan hal-hal yang berhasil diusahakan oleh para seniman ketoprak sehingga selain mampu merangkul tradisi juga mampu membuat bentuk baru ketoprak yang disukai penontonnya, seperti: ketoprak gaya baru, ketoprak gerr dan kung-fu, ketoprak garapan, ketoprak plesetan, ketoprak radio, hingga ketoprak televisi, merupakan potret dinamika ketoprak di Era Orde Baru, yang meskipun hanya kesenian rakyat tetap tanggap menyikapi modernisasi budaya dengan cara-cara kreatif. Membicarakan ketoprak bukan berarti membicarakan masa lalu. Ketoprak yang pada awalnya adalah suatu tradisi pesta masyarakat agraris, sedikit demi sedikit bergeser menjadi sebuah pertunjukan professional yang sudah sepatutnya diperhitungkan. Ketoprak seperti halnya “roh yang hidup” dan selalu mencari tubuh yang tepat sebagai tempat persinggahannya.
    Dalam menghadapi perubahan masyarakat yang estensif diperlukan upaya kultural. Sintesis cultural hendaknya sesuai dengan kesempatan-kesempatan serta interaksi yang ada. Dalam artian, niai-nilai dapat berfungsi sebagai jemabatan membantu masyarakat melangsungkan eksistensinya. Dalam hubungan tersebut, seni budaya berfungsi untuk mencipta dan meneruskan makna dari kehidupan masyarakat dalam bentuk-bentuk imajinatif. Seni budaya juga meneruskan adat kebiasaan mendramatisasikan maknanya, sehingga mengajarkan kita dalam bertindak. Semua seni budaya merupakan medium dari transmisi tersebut. Pertunjukan rakyat tradisional seperti misalnya ketoprak, sangat komunikatif dan dapat digunakan dalam program pembangunan sebagai medium yang efektif. Di samping sebagai fungsi ekspresi pertunjukan rakyat tradisional yang mempunyai fungsi instrumental yaitu dapat menjadi medium untuk menyampaikan pesan-pesan.
    Sejak kelahiran ketoprak sekitar tahun 1887, bahasa yang digunakan adalah bahasa jawa. Sesuai jenis ketoprak sebagai teater rakyat tradisional. Pada saat itu ketoprak masih menggunakan lesung, alat penumbuk padi sebagai sumber suara iringannya. Karena hal itu, jenis ketoprak tersebut dinamakan ketoprak lesung. Lakon-lakon yang dibawakan juga berasal dari cerita-cerita yang sangat sederhana. Seperti misalnya hanya menceritakan tentang kehidupan para petani sehari-hari. Tempat pentasnyadi pelataran rumah-rumah petani, bahkan sering di sawah sesudah panen padi berlangsung. Tentu saja, setelah sawah bersih dari jerami, dengan waktu pentas biasanya pada malam hari, yangmana selalu ditepatkan pada saat-saat terang bulan. Bentuk-bentuk lagu yang diiringi suara lesung, baik melodi drama, irama, dan lirik yang sederhana. Pakaian yang dikenakan merupakan ragam jawa yang biasa dipakai para petani sehari-hari. Seperti misalnya ikat kepala, surjan, baju, dan celana komprang serta kain batik atau lurik untuk pria. Sedangkan yang dipakai wanita seperti misalnya kebaya, kain batik atau lurik. Dan untuk garapan sajian cenderung dalam bentuk komedi. Dalam penampilan di pentas, lesung ditempatkan di tengah agak pinggir dan menghadap penonton. Bentuk pentas tapal kuda, pemain duduk di dekat lesung dan dekat penabuh lesung, sementara penonton mengitari pentas. Ragam penggunaan bahasa jawa yang digunakan untuk alat ekspresi tersebut bertujuan untuk membangun dan membentuk suasana lakon agar menambah keserasian yang menarik. Selain itu beragam bahasa ketoprak menunjukkan watak, darah keturunan, kedudukan, dan latar belakang status sosial tokoh dalam lakon.
    Keberadaan ketoprak sebagai salah satu kesenian rakyat tradisional sejak lahirnya sampai sekarang, berkembang selalu berupaya menyesuaikan selera/ kesenangan masyarakat penggemarnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan kesenian ketoprak bersifat lentur atau luwes. Dibuktikan dengan bentuk penyajian kesenian ketoprak yang senantiasa berubah dari tahun ke tahun. Perubahan tersebut bertujuan suapaya ketoprak tetap digemari oleh penonton. Ketoprak merupakan salah satu kesenian massa, yang ditujukan sebagai hiburan. Dalam ketoprak bisa digali nilai-nilai kemanusiaan, filsafat, cinta, jiwa besar, bahkan sampai etnomatematika.
    Ketoprak konvensional sebagai kesenian rakyat memiliki bentuk dan cirri-ciri yang membedakan dengan seni pertunjukkan rakyat lainnya, antara lain:
    a. Menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa pengantar dialog
    b. Cerita tidak terikat pada salah satu pakem
    c. Musik adalah gamelan jawa, baik selendro maupun pelog
    d. Seluruh cerita dibagi-bagi dalam babak besar dan babak kecil
    e. Selalu ada peran dagelan yang mengikuti tokoh-tokoh protagonist dan antagonis, demikian menurut Harymawan (1988) dalam (Purwaraharja, L. dan Nusantara, B., 1997).
    Ciri khas di atas, bukan merupakan hasil interaksi yang begitu saja. Ketoprak merambat dari kreativitas kesenian rakyat yang sangat sederhana. Sejarah ketoprak sebagai kesenian rakyat mengalami proses interaksi yang menyebabkan bentuk ketoprak dari waktu ke waktu memiliki ciri khas sesuai perkembangan zaman. Menurut A. Sutjipto dan Wijaya (1974) dalam (Purwaraharja, L. dan Nusantara, B., 1997) periodisasi ketoprak adalah sebagai berikut:
    1. Tahun 1887-1925 periode ketoprak lesung dengan cirinya: tetabuhan lesung, tari, nyanyian (tembang), cerita, dan pakaian.
    2. Tahun 1825-1927 periode ketoprak peralihan, dengan cirinya: tetabuhan campur-lesung, rabana, alat musik baru- tari, nyanyian (tembang), cerita, pakaian, dan rias.
    3. Tahun 1927-sekarang periode ketoprak gamelan, dengan cirinya: cerita, nyanyian (tembang), pakaian, dan rias.
    Sejarah dan juga dinamika ketoprak secara umum sudah dijabarkan pada paragraf-paragraf di atas. Sebagai orang Jawa terutamanya, sudah menjadi kewajiban untuk ikut melestarikan kesenian asli Jawa, salah satunya yaitu ketoprak. Hal tersebut direalisasikan dengan menyaksikan pagelaran ketoprak yang diperankan oleh para petinggi UNY, meliputi para Guru Besar (Professor), Rektor dan jajarannya, para dosen, serta para mahasiswa Pascasarjana UNY. Sebagai mahasiswa, melihat para dosennya memerankan lakon lain dalam cerita ketoprak yangmana sangat berbeda jauh dengan kepribadian dan keseharian mereka saat di kampus, saya rasa hal tersebut memberikan hiburan tersendiri yang sangat menarik. Salah satu pemeran utamanya yaitu Prof. Marsigit yang berperan sebagai Pangeran Sepuh Purbaya. Pagelaran ketoprak UNY pada hari Rabu tanggal 9 Mei 2018 dilaksanakan dalam rangka Dies Natalis UNY yang ke 54. Pagelaran ketoprak tersebut menjadi gebrakan baru dalam dunia akademik di UNY dan hal membanggakannya adalah banyak pihak yang mengapresiasi pagelaran dengan lakon petinggi UNY tersebut. Inovasi dalam menyampaikan pemikiran tersebut banyak dikagumi oleh universitas-universitas lain dan tak sedikit yang memberikan pernyataan ingin meniru langkah tersebut.
    Berikut adalah sinopsis ketoprak “Rembulan Kekalang” :
    Demi derajat dan martabat yang dicita-citakan, Tumenggung Pasingsingan merelakan putrinya yang bernama Rara Mangli dijadikan “rantai emas”untuk memikat Pangeran Timur. Rara Mangli pun tak kuasa menolak kehendak ayahnya. Ia pun menjadi istri Pangeran Timur yang sudah terbakar api asmara. Sejak menjadi suami Rara Mangli, Pangeran Timur menjadi melik nggendhong lali, lupa terhadap Mataram. Bahkan, menyetujui kehendak mertuanya untuk membunuh saudaranya sendiri, yakni Pangeran Hadi Mataram yang baru saja dinobatkan. Bagi Tumenggung Pasingsingan, dengan terbunuhnya Pangeran Hadi Mataram, menantunyalah yang akan menjadi penguasa Mataram.
    Pangeran Hadi Mataram yang baru saja dinobatkan sebagai Raja Mataram oleh Pangeran Sepuh Purbaya dengan jejuluk Kanjeng Sunan Amangkurat Agung Panatagama Kalifatullah, menerima ancaman dari Tumenggung Pasingsingan. Becik ketitik ala ketara – suradira jaya kanangrat swuh brastha tekaning ulah dharmastuti, pada akhirnya jatraning kodrat pun menggagalkan kelicikan Tumenggung Pasingsingan: tindak angkara murka terkalahkan oleh tindak kebajikan. Sebagai akibat ketamakan ayahnya, Rara Mangli pun merasa hidupnya tak berarti lagi. Ia merasa kehilangan segalanya: cinta, ayah, dan tahta. Bayangan keindahan hidup tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapinya. Rara Mangli pun gempung satemah bingung. Baginya, wus pantog pepuntaning tekad. Rara Mangli berkehendak mengakhiri hidupnya.
    (Sukisno, Bambang Suharjana, Suminta A. Sayuti)
    Dari cerita ketoprak tersebut dapat dipetik pelajaran bahwa harta dan tahta bukanlah kunci utama dalam meraih kebahagiaan dalam menjalani kehidupan. Sikap serakah juga pasti akan membawa malapetaka pada akhirnya. Selain hidup harus dipenuhi rasa syukur, bagi sesama manusia apalagi saudara/ keluarga kita tidak boleh saling iri ataupun dengki.
    Dalam pagelaran ketoprak tersebut juga terdapat beberapa unsur etnomatematika di dalamnya, seperti misalnya dalam bentuk-bentuk geometri dari bangunan maupun ornamen pakaian yang dipakai para lakonnya, yaitu mahkota yang dipakai Pangeran Sepuh Purboyo yang merupakan bentuk kerucut terpancung (materi: luar permukaan dan volume kerucut terpancung); gapura kerajaan yang berbentuk segitiga; blangkon para lakon yang berbentuk setengah bola; lukisan dinding gapura kerajaan yang terdiri dari bangun persegi panjang.

    Sedangkan refleksi untuk kesenian wayang kulit adalah sebagai berikut:
    Wayang kulit merupakan salah satu kesenian masyarakat Jawa pada khususnya. Wayang berasal dari kata ‘Ma Hyang’ yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna ‘bayangan’, hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narrator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
    Realisasi nyata dari cinta kesenian wayang kulit ini, kami sebagai mahasiswa menyaksikan pagelaran kesenian wayang kulit dan juga dalang cilik dalam rangka Dies Natalis UNY yang ke 54 di depan Rektorat UNY dan pagelaran wayang kulit untuk kalangan umum yang sudah bertaraf internasional di Museum Sonobudoyo.
    Seperti halnya dalam refleksi ketoprak, refleksi pegelaran wayang kulit juga mencakup banyak nilai-nilai etnomatematika di dalamnya. Seperti misalnya, bentuk gunungan yang menyerupai bentuk geometri segitiga, bentuk kepala wayang yang berbentuk kurva tertutup, kelir yang berbentuk persegi panjang, wayang yang dijajarkan membentuk suatu barisan yang sejajar.

    DAFTAR PUSTAKA
    Purwaraharja, L. dan Nusantara, B. (1997). Ketoprak Orde Baru (Dinamika Teater Rakyat Jawa di Era Industrialisasi Budaya). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.